Oleh: Siti
Hajar
Aku sangat
menyukai aroma roti di bandara. Dulu, aroma manis roti panggang bercampur ragi
itu menjadi hal yang istimewa, karena hanya bisa ditemukan di bandara dan
mal-mal besar. Ada manis yang terselip di antara wangi kopi yang khas dalam
adonan roti. Sejak lama aku sudah menyukainya. Aku pikir aku bukan satu-satunya
yang terpikat aroma ini. Dari orang tua, nenek-nenek, remaja, sampai anak-anak,
rasanya tidak ada yang bisa menolak aroma roti khas ini.
Dulu, roti ini
dikenal dengan nama Roti Boy. Namun, kini namanya sudah jarang kujumpai. Di mal
kecil dekat rumahku, tersedia roti dengan aroma yang sama persis, hanya namanya
berbeda: Roti O. Meski berbeda nama, aku masih sangat menyukainya.
Roti Boy memang
salah satu pelopor aroma roti panggang khas yang bisa membuat orang “menoleh
dan menelan ludah” bahkan sebelum melihat bentuk roti itu sendiri. Wangi
homemade-nya sangat kuat, perpaduan mentega cair, gula, ragi aktif, dan
sentuhan vanila.
Saat dipanggang,
aroma manis-gurih-karamel yang muncul sangat khas. Aroma itu seperti membawa
kita ke dapur nenek atau suasana rumah saat hujan turun dan roti baru saja
keluar dari oven.
Cerita Roti Boy
bermula pada tahun 1998 di Malaysia. Seorang mantan akuntan bernama Joseph Wong
memutuskan untuk meninggalkan pekerjaannya dan menciptakan sebuah roti unik
yang belum pernah ada sebelumnya: roti kopi dengan tekstur lembut di dalam dan
topping kopi renyah di luar.
Ide sederhana
ini meledak menjadi fenomena besar di Asia Tenggara. Nama “Roti Boy” sendiri
dikisahkan berasal dari julukan anaknya yang sering dipanggil “roti boy” oleh
ibunya, yang akhirnya menjadi merek dagang roti terkenal itu.
Popularitas Roti
Boy begitu cepat merambah ke berbagai negara, termasuk Indonesia, di mana aroma
khasnya mengisi udara bandara, mal, dan swalayan besar, menarik antrean panjang
yang dengan sabar menunggu giliran menikmati roti ini.
Di balik
kelezatannya, ada rahasia khusus dari resep Roti Boy yang membuat roti ini
begitu menggoda. Perpaduan bahan-bahan yang sangat tepat: mentega cair, gula,
ragi yang aktif, dan vanila yang memberi aroma manis alami. Saat dipanggang,
reaksi kimia menghasilkan aroma manis-gurih-karamel yang menghipnotis banyak
orang.
Fenomena aroma
roti seperti ini juga dikenal dalam dunia pemasaran sebagai “scent marketing”
atau pemasaran aroma. Banyak mal, swalayan, bahkan toko roti kecil sengaja
tidak menutup dapur atau memasang ventilasi khusus agar aroma roti panggang
menyebar luas.
Aroma ini
memancing emosi pengunjung—hangat, aman, manis—yang secara bawah sadar
mendorong orang untuk membeli. Riset menunjukkan bahwa aroma seperti ini dapat
menurunkan stres pengunjung mal, membuat mereka betah berlama-lama di toko, dan
meningkatkan pembelian spontan (impulse buying).
Kini, meski nama
Roti Boy semakin jarang terdengar di kotaku, kehadiran Roti O di mal kecil yang
tak jauh dari rumah menjadi pengganti yang memuaskan rinduku akan aroma dan
rasa roti itu.
Saat antrian
sedang agak sepi, aku dengan rela mengantri untuk mendapatkan Roti O. Aku dan
suamiku, Bang Budy, menikmati roti itu bersama secangkir kopi latte favorit
kami. Kopi nikmat dengan aroma yang menggetarkan dan mengembalikan gairah hidup
kami. Di tengah tekanan yang serba tidak
menentu. Momen sederhana ini terasa hangat dan penuh makna.
Aku merasa
beruntung dan ingin berterima kasih kepada orang pertama yang membuat roti
dengan rasa dan aroma luar biasa ini.
Bagiku, roti ini
bukan sekadar makanan. Namun, semacam pemecah ketegangan emosi di tengah
keruwetan yang ada. Ia mampu menghangatkan dan mendamaikan. Seakan mampu
meminta waktu untuk berhenti sejenak.
Kenangan tentang
Roti Boy, asal usul dan aroma uniknya, telah menjadi bagian dari cerita hidup
banyak orang, termasuk aku.
Apakah kamu punya
kisah yang sama? []