Oleh: Siti Hajar
Di sebuah
pesantren, seorang remaja menjalani hari-hari dengan rutinitas yang padat:
hafalan yang terus bertambah, tugas yang menumpuk, dan suasana yang penuh
tuntutan. Dalam tekanan seperti itu, tubuhnya mulai menunjukkan tanda-tanda
aneh—nyeri hebat di tulang belakang bagian bawah, yang terasa setiap kali ia
bergerak. Duduk pun nyeri, berdiri pun tak nyaman. Sakit itu seperti muncul
tanpa sebab yang jelas. Padahal secara fisik, tak ada luka atau cedera yang
tampak.
Anehnya, ketika
tiba masa pulang ke rumah, keluhan itu menghilang seketika. Begitu tiba di
lingkungan yang membuatnya merasa aman dan tenang, tubuhnya kembali seperti
sediakala. Ia bisa bercanda, makan lahap, dan bergerak bebas. Tak ada
tanda-tanda sakit seperti yang dikeluhkan sebelumnya.
Fenomena ini
sering kali membuat orang bingung. Bagaimana mungkin sakit sedemikian hebat
bisa lenyap begitu saja? Inilah yang disebut dengan gangguan
psikosomatis—kondisi ketika tekanan mental atau emosional yang berkepanjangan
memicu keluhan fisik nyata, meski secara medis tubuh dalam keadaan normal.
Psikosomatis
bukan hal sepele. Bukan pura-pura. Bukan pula drama. Gejala yang dirasakan oleh
penderitanya benar-benar nyata dan menyakitkan. Tubuh merespons tekanan batin
dengan bahasa yang paling bisa dipahami: rasa sakit.
Tubuh dan
pikiran adalah dua bagian yang tak bisa dipisahkan. Ketika jiwa diliputi stres,
cemas, atau tekanan berat, tubuh bisa ikut menanggung bebannya. Rasa nyeri,
kelelahan kronis, gangguan pencernaan, sesak napas, bahkan detak jantung tidak
stabil—semua bisa muncul sebagai reaksi dari beban emosional yang tidak
disadari.
Sayangnya,
masyarakat belum banyak yang memahami kondisi ini. Ketika seseorang mengeluh
sakit tapi hasil pemeriksaan medis menunjukkan semuanya normal, mereka sering
dianggap berlebihan atau mencari perhatian. Padahal psikosomatis justru terjadi
karena sistem saraf otonom bekerja berlebihan akibat tekanan batin yang tak
terkelola. Rasa sakit itu bukan khayalan. Ia adalah bentuk komunikasi tubuh
atas luka yang tak terlihat.
Remaja, apalagi
yang hidup jauh dari keluarga dan berada dalam lingkungan disiplin tinggi,
sangat rentan mengalami kondisi ini. Saat tidak ada ruang yang cukup untuk
mengungkapkan rasa takut, cemas, atau lelah secara emosional, tubuh menjadi
penyalurnya. Lingkungan yang suportif, penuh pengertian, dan memberi ruang aman
bisa menjadi faktor penting untuk pemulihan. Begitu stres mereda, gejala fisik
pun sering kali ikut menghilang.
Psikosomatis
bisa terjadi pada siapa saja. Bukan hanya remaja, tetapi juga orang dewasa,
bahkan anak-anak. Terutama mereka yang terbiasa memendam perasaan, menanggung
beban sendiri, atau hidup dalam tekanan sosial yang tinggi. Tubuh mereka bisa
tampak sehat, tetapi batin mereka terus-menerus dalam mode bertahan.
Itulah sebabnya,
penting bagi keluarga, guru, dan orang-orang terdekat untuk mulai lebih peka.
Ketika seseorang mengeluh sakit yang tak jelas penyebabnya, jangan langsung
mencurigai atau meremehkan. Dengarkan. Perhatikan. Beri ruang untuk merasa
aman. Kadang yang dibutuhkan bukan obat, tapi pelukan. Bukan terapi fisik, tapi
pemahaman dan empati.
Beberapa
selebritas dunia telah terbuka mengenai perjuangan mereka menghadapi gangguan
kesehatan mental, termasuk kondisi yang berkaitan dengan gejala fisik tanpa
penyebab medis yang jelas, seperti gangguan psikosomatis atau somatic symptom
disorder. Berikut beberapa di antaranya:
Lady Gaga
telah berbicara secara terbuka tentang perjuangannya melawan depresi dan
kecemasan. Ia menggambarkan pengalaman merasakan kelelahan fisik dan nyeri yang
bersamaan dengan tantangan kesehatan mentalnya. Gaga menekankan pentingnya
mencari bantuan profesional dan dukungan dalam mengelola gejala-gejala
tersebut.
Selena Gomez
mengalami serangan panik dan kecemasan yang berkaitan dengan kondisi autoimun
lupus yang dideritanya. Ia mengungkapkan bahwa tekanan emosional dan stres
dapat memperburuk kondisi fisiknya, menunjukkan hubungan erat antara kesehatan
mental dan fisik.
Kesha mengalami
gangguan makan dan tekanan emosional yang signifikan selama proses hukum yang
panjang terkait kasus pelecehan seksual. Ia menyatakan bahwa pengalaman
tersebut berdampak besar pada kesehatannya, baik secara mental maupun fisik.
Cara
Delevingne menghadapi tantangan kesehatan mental yang dipicu oleh trauma
masa lalu dan tekanan industri hiburan. Ia mengungkapkan bahwa perasaan sedih
dan marah yang dipendam dapat memengaruhi kesehatannya secara keseluruhan.
Kendall
Jenner mengalami serangan panik yang tidak dapat diprediksi, yang sering
kali terjadi tanpa pemicu yang jelas. Ia menyatakan bahwa media sosial
memperparah masalah kesehatan mental yang dialaminya.
Jim Carrey
telah mengakui perjuangannya melawan depresi dan menggunakan pendekatan
holistik, termasuk perubahan gaya hidup, untuk mengelola kondisinya. Ia
menyoroti pentingnya mencari bantuan dan tidak merasa malu untuk membicarakan
kesehatan mental.
Beberapa publik
figur Indonesia telah terbuka mengenai perjuangan mereka menghadapi gangguan
kesehatan mental, termasuk kondisi yang berkaitan dengan gejala fisik tanpa
penyebab medis yang jelas, seperti gangguan psikosomatis. Berikut beberapa di
antaranya:
Kevin Aprilio
mengungkapkan bahwa ia menderita gangguan psikosomatis, yang menyebabkan
dirinya sering mengalami keluhan fisik tanpa penyebab medis yang jelas. Ia
menyatakan bahwa kondisi ini membuatnya harus berobat hingga sepuluh kali dalam
sebulan.
Ariel Tatum
telah berbicara secara terbuka tentang perjuangannya melawan Borderline
Personality Disorder (BPD) yang didiagnosis sejak usia 13 tahun. Ia
mengungkapkan bahwa gangguan ini menyebabkan ketidakstabilan emosi dan
memengaruhi kesehatannya secara keseluruhan.
Marshanda
didiagnosis mengidap gangguan bipolar sejak tahun 2009. Ia mengaku sempat
mengalami kesulitan mengendalikan emosinya dan harus dirawat di rumah sakit
jiwa. Kini, Marshanda aktif berkampanye untuk meningkatkan kesadaran tentang
gangguan bipolar
Aliando
Syarief mengungkapkan bahwa ia mengidap obsessive-compulsive disorder (OCD)
ekstrem, yang membuatnya harus mundur dari dunia hiburan Tanah Air. Ia
menyatakan bahwa kondisi ini telah dialaminya sejak duduk di bangku sekolah
dasar.
Vidi Aldiano
pernah mengalami gangguan kecemasan yang berkaitan dengan profesinya sebagai
penyanyi. Ia mengungkapkan bahwa gangguan ini menyebabkan dirinya pingsan
sebelum tampil di atas panggung pada tahun 2018.
Kisah-kisah ini
menunjukkan bahwa gangguan psikosomatis dan kondisi kesehatan mental lainnya
dapat memengaruhi siapa saja, termasuk mereka yang tampaknya memiliki kehidupan
yang sempurna. Penting untuk menyadari bahwa gejala fisik yang tidak memiliki
penyebab medis yang jelas bisa jadi merupakan manifestasi dari tekanan
emosional atau psikologis. Mencari bantuan profesional dan dukungan dari
orang-orang terdekat adalah langkah penting dalam proses pemulihan.
Kesadaran akan psikosomatis bukan hanya penting bagi penderitanya, tetapi juga bagi lingkungan sekitar. Semakin cepat kondisi ini dikenali, semakin baik pula proses pemulihannya. Karena tubuh bukan hanya mesin biologis, tapi juga cermin dari kehidupan batin seseorang. []