Oleh: Siti Hajar
Waktu kecil, aku
masih mengingat dengan jelas bagaimana ibuku dengan tekun memberiku obat cacing
setiap enam bulan sekali. Obat sirup
yang rasanya pahit. Kadang kami sekeluarga minum obat itu bersama-sama dengan
saudara-saudaraku, seolah menjadi bagian dari tradisi kecil yang tak tertulis.
Ada rasa waspada di balik kehangatan itu—bahwa di luar sana, sesuatu yang tak
terlihat bisa, tetapi dapat merusak tubuh kami, dan ibu tak ingin hal itu
terjadi.
Ternyata kebiasaan itu tak berhenti di masa kecil.
Saat kuliah dulu, aku dan teman-teman di asrama juga melakukannya. Kami saling
mengingatkan dan meminum obat cacing bersama-sama setiap enam bulan sekali.
Tidak ada yang menyuruh secara resmi, tapi kesadaran itu tumbuh dari pengalaman
hidup dan lingkungan. Kami tahu betul bahwa sanitasi di asrama tidak
ideal—saluran air kadang mampet, dapur bersama kurang bersih, bahkan ada yang
berkali-kali terkena diare dan gangguan pencernaan. Maka obat cacing menjadi semacam
tameng diam-diam, bagian dari kepedulian pada diri sendiri dan satu sama lain.
Namun, kini tradisi minum obat cacing sudah sangat jarang terlihat. Apa karena anak-anak sekarang kelihatan lebih sehat dan aktif? Aku tidak juga memberikan obat cacing secara rutin kepada Dara-anakku. Hanya saat dia beumur 5 dan 7 tahun aku memberinya.
Aku mulai
bertanya-tanya—apakah aku telah terlalu percaya pada apa yang tampak? Ataukah
aku sedang melupakan sesuatu yang dulu sangat kuanggap penting?
Bisa saja aku lupa karena Dara tidak menunjukkan
gejala cacingan. Alhamdulillah. Namun mari kita lupakan apa yang sedang menjadi
pikiranku, sejenak kita mencari tahu apa iti cacingan.
Cacingan sebenarnya bukan hal baru. Sejak dulu,
penyakit ini dianggap wajar terutama di kalangan anak-anak yang suka bermain
tanah, memegang apa saja, lalu tanpa sadar memasukkan jari ke dalam mulut.
Namun yang tak semua orang tahu, cacingan bisa hadir tanpa gejala yang
mencolok. Ia menyerap nutrisi dari tubuh inangnya secara perlahan, menyebabkan
gangguan yang samar: kelelahan, perut kembung, berat badan yang tak kunjung
naik, gatal di malam hari, atau tubuh yang tampak sehat namun tak optimal
tumbuhnya.
Cacing masuk ke tubuh melalui jalan yang sering
kita anggap sepele: makanan yang kurang bersih, air yang tidak dimasak
sempurna, sayuran yang dicuci ala kadarnya, atau bahkan kaki yang berjalan
tanpa alas di tanah lembap. Setelah itu, mereka berkembang biak dalam usus,
hidup dari apa yang kita makan, dan tak jarang merusak sistem imun pelan-pelan.
Pada anak-anak, cacingan bisa berdampak besar terhadap pertumbuhan, konsentrasi
belajar, dan daya tahan tubuh. Sementara pada orang dewasa, efeknya sering tidak
disadari, hanya dikira sebagai gejala biasa: lelah yang tak hilang-hilang, mual
sesekali, atau turunnya berat badan tanpa sebab.
Dulu, pemerintah melalui Puskesmas rajin
mengadakan program pemberian obat cacing massal. Bahkan di posyandu, kegiatan
ini menjadi rutinitas yang ditunggu karena semua anak akan diberikan obat
gratis secara berkala. Program ini bukan semata bentuk intervensi medis, tapi
juga wujud kesadaran bahwa pencegahan lebih murah dan lebih bijak daripada
pengobatan. Obat-obat seperti albendazole atau mebendazole terbukti aman,
murah, dan efektif. Dalam sekali minum, tubuh mendapat perlindungan yang cukup
kuat hingga enam bulan ke depan.
Besar kemungkinan karena kehidupan kita hari ini tampak
lebih bersih—dengan air kemasan, sabun antiseptik, dan lantai rumah yang
mengilap—kita merasa sudah aman. Kita percaya bahwa jika anak kita tidak
mengeluh, maka tak ada yang perlu dikhawatirkan. Tapi cacing tidak selalu
menampakkan diri dengan gegap gempita. Mereka tenang dalam diam, menunggu tubuh
kita lengah.
Maka kini aku mulai berpikir ulang. Mungkin sudah
waktunya aku menghidupkan kembali kebiasaan yang dulu diwariskan ibuku. Tidak
ada salahnya menjaga, meskipun belum terlihat bahaya. Memberikan obat cacing
bukan hanya tindakan medis, tapi juga bagian dari cinta. Cinta yang berpikir
jauh, yang tidak menunggu sampai anak sakit dulu, yang tidak menunda sampai
gejala terlihat.
Kesadaran akan kesehatan sering kali lahir dari pengalaman dan kenangan. Dari dapur sempit di asrama kampus, dan rasa tidak enak obat cacing, dari ruang-ruang keluarga yang dihuni oleh orang-orang yang ingin hidup lebih lama bersama. Dan dari semua itu, aku belajar bahwa menjaga tubuh bukan soal besar atau kecilnya tindakan, tapi tentang niat yang tidak putus untuk melindungi. []