Oleh: Siti Hajar
"Pujian itu madu, tapi bisa juga menjadi racun."
Ada satu hal
yang kadang sepele, tapi sesungguhnya begitu dalam pengaruhnya: pujian. Kita
mungkin sering mengucapkannya, mungkin juga sering menerimanya, tapi jarang
bertanya: mengapa manusia begitu membutuhkan pujian? Jawabannya
sederhana—karena pujian adalah bentuk pengakuan. Ia memberi sinyal bahwa
keberadaan kita dilihat, usaha kita dihargai, dan kebaikan kita tidak berlalu
begitu saja. Sering kali, satu kalimat pujian yang tulus bisa menyalakan
semangat yang hampir padam. Bayangkan seorang anak yang mendengar gurunya
berkata, “Tulisanmu bagus sekali, Wah hebat kamu sangat rajin!” Kalimat
sederhana itu bisa menumbuhkan percaya diri yang akan ia bawa sepanjang
hidupnya.
Namun, di balik
manisnya pujian, kita juga harus waspada. Tidak semua pujian lahir dari
ketulusan. Ada pujian yang jernih, datang dari hati tanpa pamrih. Pujian
semacam ini biasanya sederhana, tidak berlebihan, dan hadir di momen yang
tepat. Tapi ada pula pujian yang terasa hambar, sekadar basa-basi agar
percakapan tidak canggung. Bahkan, tak jarang ada pujian yang diselipkan demi
sebuah kepentingan, untuk mencari keuntungan pribadi. Bedanya kadang samar,
tapi hati kita biasanya cukup peka untuk merasakannya. Intuisi bisa menangkap
getar tulus dari sebuah kalimat, sama halnya bisa mengenali rayuan palsu yang
terasa janggal.
“Kamu baik
sekali, Kamu hebat!” tanpa mengatakan baik itu dimana, dan hebat itu di bidang
apa.
Lalu bagaimana
sebaiknya kita merespon pujian? Tidak perlu menolak dengan sikap rendah diri
yang berlebihan, sebab itu justru membuat pemberi pujian merasa diabaikan.
Tidak juga harus menepuk dada dengan bangga seolah semua karena diri kita
semata. Jalan tengahnya sederhana: menerima dengan syukur. Jawaban singkat
seperti, “Terima kasih,” atau “Alhamdulillah, semoga bisa lebih baik
lagi,” cukup untuk menjaga adab, sekaligus menunjukkan kerendahan hati.
Dengan begitu, kita tidak mengingkari kebaikan orang yang memuji, tapi juga
tidak larut dalam rasa bangga yang menipu, karena itu akan menjadi racun.
Adapun dalam
memberi pujian, kita juga punya tanggung jawab moral. Pujian bukan alat
manipulasi, bukan rayuan kosong yang berlebihan, apalagi sekadar basa-basi yang
akhirnya tidak bermakna. Pujilah hal-hal yang memang pantas dipuji, sekecil apa
pun itu, dan ucapkan dengan tulus. Pujian yang lahir dari hati akan selalu
sampai ke hati. Dan ketika menerima pujian, ingatlah bahwa semua kebaikan
sejatinya datang dari Allah. Dengan begitu, kita tidak akan terlena atau
sombong, tapi justru terdorong untuk terus memperbaiki diri.
Budaya Barat
punya cara yang cukup khas dalam menyikapi pujian. Kalau di banyak budaya
Timur, termasuk kita di Aceh atau Indonesia, orang seringkali merespon pujian
dengan merendah—misalnya berkata “Ah, biasa saja kok,” atau “Ah,
tidak seberapa.”—maka di Barat justru sebaliknya: menolak atau meremehkan
pujian dianggap tidak sopan.
Di negara-negara
Barat, khususnya yang berbahasa Inggris seperti Amerika atau Eropa Barat, orang
terbiasa menerima pujian dengan sederhana dan langsung. Kata-kata “Thank
you” sudah dianggap cukup sebagai respon yang baik. Tidak perlu menambahkan
alasan panjang atau merendahkan diri secara berlebihan. Misalnya ketika
seseorang berkata, “You look great today,” respon paling umum adalah “Thank
you, that’s kind of you.” Hal ini menunjukkan apresiasi tanpa terlihat
sombong maupun meremehkan.
Selain itu, ada
juga kebiasaan membalas pujian dengan pujian (compliment return), meski
tidak selalu wajib. Misalnya saat dipuji soal penampilan, orang Barat bisa
membalas, “Thank you, I love your jacket too.” Namun jika tidak tulus,
mereka biasanya memilih tidak membalas, karena dalam kultur Barat, kejujuran
lebih diutamakan daripada basa-basi.
Intinya, manner
Barat saat menerima pujian menekankan kesederhanaan, ketulusan, dan
apresiasi langsung. Tidak perlu merendahkan diri sampai terkesan tidak
percaya diri, dan juga tidak boleh melebih-lebihkan diri. Satu kalimat singkat
yang tulus dianggap lebih elegan dibanding penjelasan panjang.
Pada akhirnya,
pujian adalah soal adab. Adab dalam memberi, adab dalam menerima. Jika keduanya
dijaga dengan kejujuran dan kerendahan hati, maka pujian akan berubah menjadi
energi yang menumbuhkan, bukan sekadar kata-kata manis yang berlalu. Ia bisa
menjadi doa, bisa menjadi pengingat, bisa menjadi bahan bakar untuk terus
bertumbuh. Dan bukankah itu yang paling kita butuhkan dalam hidup—kata-kata
sederhana yang tulus, yang membuat kita yakin untuk melangkah lagi?
Semoga kita semakin bijak dalam melontarkan sebuah pujian, setiap yang kita katakan akan menambah semangat bagi yang menerimanya. Demikian juga bijak saat dipuji, tidak perlu mengatakan banyak hal. Cukup katakan terima kasih atas dukungannya. Semoga pujian tidak membuat kita menjadi sombong. []