Perjuangan Dara Mengatasi Speech Delay dan Aturan 10 Menit

Oleh: Siti Hajar

Saya adalah seorang ibu dari anak berkebutuhan khusus bernama Dara. Dara lahir dengan kondisi cerebral palsy, yaitu gangguan yang memengaruhi kemampuan koordinasi dan gerak tubuh akibat kerusakan pada otak. Pada kasus Dara, kekakuan otot (spastisitas) lebih dominan terjadi pada sisi kiri tubuhnya—terutama tangan dan kaki kiri—dibandingkan sisi kanan. Keadaan ini membuat Dara lambat berjalan dan juga mengalami speech delay (terlambat bicara).

Perjalanan kami tentu tidak mudah. Namun, saya percaya bahwa setiap anak memiliki jalannya sendiri untuk tumbuh, belajar, dan bersinar sesuai kemampuannya.

Dara baru bisa berjalan saat usianya melewati tiga tahun. Awalnya, kami tidak terlalu khawatir karena abangnya pun mengalami keterlambatan serupa, baik dalam hal berjalan maupun bicara. Namun, kekhawatiran mulai muncul ketika sepupunya yang lebih muda sudah mampu berbicara lancar dan berlari dengan lincah, sementara Dara masih kesulitan mengucapkan satu kata pun dengan jelas.

Kami pun memutuskan membawa Dara ke dokter tumbuh kembang dan menjalani sesi terapi wicara secara rutin. Namun, setelah hampir lima bulan menjalani terapi, kami belum melihat progres yang berarti dalam perkembangan bicara Dara.

Hingga akhirnya, kami menemukan sebuah sekolah inklusi yang benar-benar mendampingi anak dengan sepenuh hati. Sekolah ini memperlakukan semua anak, baik anak berkebutuhan khusus maupun anak lainnya, dengan penuh cinta dan perhatian. Sejak anak-anak datang, mereka disambut dengan pelukan hangat dari para guru. Anak-anak tidak langsung “belajar” secara konvensional, melainkan diajak bercerita hingga merasa nyaman, lalu bermain sesuai tema pembelajaran yang menyenangkan.

Di akhir sesi sekolah, Dara mendapat terapi wicara khusus. Ia juga memiliki buku kontrol yang diisi oleh terapis, berisi kata-kata apa saja yang berhasil ia ucapkan hari itu. Setiap pulang sekolah, saya membaca buku itu dan mengulang kembali kata-kata yang sedang dilatih, termasuk menambahkan kata baru yang sesuai. Jika pengucapannya belum tepat, saya membimbingnya untuk mengulang secara perlahan.

Di sekolah inklusi tersebut, hanya dalam waktu enam bulan, Dara mulai bisa mengucapkan kata-kata yang ia maksudkan. Momen ini menjadi titik terang bagi kami. Namun demikian, saya tetap membiasakan untuk meminta Dara memperbaiki pengucapan kata-kata yang menurut kami belum sempurna. Saya percaya bahwa pembiasaan dan pengulangan adalah kunci.

Saya pun membiasakan untuk terus mengajak Dara berbicara, termasuk saat dalam perjalanan menuju dan pulang dari sekolah. Kami bernyanyi bersama, membaca doa-doa harian, serta surat-surat pendek. Aktivitas ini ternyata mampu menjaga mood Dara tetap positif setiap harinya. Ketika anak merasa bahagia dan tenang, proses belajar pun menjadi lebih mudah diterima.

Kepala sekolah Dara sering mencontohkan pola interaksi kami sebagai bentuk kerja sama antara rumah dan sekolah yang ideal. Beliau mengatakan, jika anak diperlakukan secara konsisten di rumah dan sekolah, maka program kurikulum sekolah akan lebih mudah dicapai.

Satu hal unik namun sangat membekas bagi saya adalah nasihat tegas dari guru-guru di sekolah Dara. Mereka tidak sekadar menganjurkan, tetapi meminta secara khusus agar orang tua tidak menggunakan ponsel di depan anak, terutama ketika sedang bersama mereka. Menurut para guru, salah satu penyebab utama keterlambatan bicara dan perkembangan akademik pada anak adalah paparan gawai yang terlalu dini dan berlebihan.

Saya mendengar sendiri cerita dari seorang guru tentang anak yang awalnya aktif, tetapi kemudian menunjukkan kemunduran dalam kemampuan bicara. Setelah ditelusuri, ternyata anak tersebut sudah terbiasa diberi ponsel sejak kecil agar diam, tenang, dan tidak merepotkan orang tuanya. Anak-anak seperti ini akhirnya kehilangan masa emas perkembangan bahasa dan sosial, karena lebih sering berinteraksi dengan layar dibandingkan dengan orang di sekitarnya.

Sejak mendengar langsung penjelasan itu, saya menjadi sangat berhati-hati dalam mengenalkan HP kepada Dara. Sejak duduk di bangku Sekolah Dasar, Dara hanya diizinkan menggunakan HP selama 10 menit setiap hari. “Sepuluh menit ya, Dara,” begitu saya mengingatkannya setiap kali ia meminjam HP untuk bermain atau menonton video yang kami pilihkan bersama. Setelah waktu habis, Dara akan menyerahkannya kembali—meski tidak jarang dengan wajah kecewa yang ia sembunyikan setengah hati.

Saya tahu ini tidak mudah, baik untuk saya maupun untuk Dara. Namun, saya percaya pembatasan ini perlu. Saya ingin ia memiliki kendali, bukan dikendalikan oleh layar kecil yang bisa mencuri waktu bermain, berinteraksi, dan bergerak yang jauh lebih berharga.

Namun, sejak memasuki bangku SMP, kebutuhannya terhadap HP mulai meningkat. Tugas sekolah, forum diskusi kelas, bahkan penugasan daring, semuanya menuntut akses terhadap teknologi. Saat ini, Dara diizinkan menggunakan HP milik saya, bukan miliknya sendiri. Tentu saja, ia mulai merengek meminta memiliki HP pribadi. Bukan Dara namanya kalau tidak mencoba membujuk dan menawar-nawar.

Tapi saya sudah menetapkan batas bahwa Dara baru akan memegang HP sendiri saat usianya 17 tahun, atau paling cepat ketika duduk di kelas XI SMA. Bukan karena saya ingin mengekangnya, tetapi karena saya ingin ia tumbuh dengan dasar yang kuat terlebih dahulu—dasar emosi, komunikasi, dan kemandirian, sebelum bertanggung jawab terhadap dunia digital yang sangat luas.

Semoga saya bisa memegang komitmen ini. Semoga Dara pun, kelak, memahami bahwa ini bukan larangan, melainkan perlindungan. Saya tahu tidak semua orang tua bisa atau mau mengambil keputusan yang sama. Tapi bagi saya, menjaga tumbuh kembang anak berarti juga menjaga kualitas interaksinya dengan dunia nyata, bukan dunia maya.

Saya tidak menganggap apa yang saya lakukan adalah yang paling benar atau sempurna. Namun, saya berharap pengalaman ini bisa menjadi inspirasi bagi orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus. Selama menjalani perjalanan ini bersama Dara, saya belajar banyak hal.

Perjalanan ini masih jauh. Namun, saya bersyukur sudah berjalan sejauh ini bersama Dara. Banyak hal yang saya pelajari, baik dari kegagalan maupun keberhasilan kecil.

Lima Hal Penting yang Saya Pelajari dalam Perjalanan Bersama Dara

  1. Bangun sinergi dengan sekolah dan profesional. Percayalah bahwa guru, terapis, dan tenaga profesional memiliki niat baik dan keahlian untuk mendampingi anak kita. Terbukalah terhadap pendekatan mereka, dan jangan ragu berdialog. Ketika ada kekhawatiran terhadap tumbuh kembang anak, segera konsultasikan ke dokter atau terapis. Semakin dini ditangani, semakin besar peluang kemajuan anak.

  2. Lanjutkan stimulasi di rumah dengan konsisten. Belajar tidak berhenti di sekolah. Apa yang diajarkan guru dan terapis perlu diperkuat di rumah lewat aktivitas sederhana seperti bermain, bercerita, bernyanyi, dan mengulang kata-kata. Ketekunan orang tua dalam meneruskan stimulasi akan mempercepat perkembangan anak.

  3. Kurangi paparan gawai dan hadir sepenuh hati. Gadget bukan solusi untuk membuat anak tenang. Penggunaan HP yang terlalu dini bisa menghambat kemampuan bicara dan interaksi sosial anak. Bangun kedekatan melalui percakapan, pelukan, dan perhatian utuh tanpa distraksi layar. Anak belajar bicara dari wajah dan suara kita—bukan dari layar.

  4. Syukuri setiap kemajuan sekecil apa pun. Anak berkebutuhan khusus punya iramanya sendiri. Jangan bandingkan dengan anak lain. Ketika Dara akhirnya bisa menyebut “roti” dengan benar, itu adalah kemenangan besar bagi kami. Rayakan dan beri semangat pada setiap kemajuan kecil—itulah bahan bakar kepercayaan diri anak.

  5. Jaga kesehatan diri dan libatkan keluarga serta komunitas. Perjalanan ini menuntut ketahanan fisik dan emosi. Luangkan waktu untuk diri sendiri, dan jangan ragu meminta bantuan. Libatkan seluruh anggota keluarga dalam mendampingi anak. Bergabunglah dengan komunitas, karena dukungan dari sesama orang tua akan membuat kita merasa lebih kuat dan tidak sendiri.

Tidak mengapa merasa sedikit khawatir terhadap kondisi anak. Kekhawatiran adalah bentuk cinta. Anak-anak adalah tumpuan harapan kita, bagian dari keluarga, dan generasi penerus bangsa.

Bagi para orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus, kalian tidak sendiri. Bangun komunitas, jalin komunikasi yang baik dengan sesama, dan saling berbagi pengalaman serta dukungan. Setiap anak istimewa, dan orang tua yang memperjuangkan anaknya dengan cinta adalah pahlawan sejati. []


Lebih baru Lebih lama