Kritik Bentuk Peduli, Bukan Menghakimi

Oleh: Siti Hajar

Aku pernah menulis dulu dan dimuat di harian Globe Medan bahwa kritik bukanlah cemoohan, melainkan bentuk kepedulian. Kritik adalah bahan bakar yang membuat bangsa tetap bergerak, tetap mawas diri, dan tidak larut dalam kesombongan kekuasaan. Tanpa kritik, pemimpin mudah terperangkap dalam ilusi, merasa selalu benar, dan menutup telinga terhadap jeritan rakyatnya.

Akhir Agustus 2025 menjadi saksi, bagaimana kritik itu akhirnya membanjiri jalanan. Jakarta dan sejumlah provinsi lain berguncang oleh demonstrasi besar-besaran. Ribuan mahasiswa, buruh, petani, pelajar, bahkan ibu-ibu rumah tangga bersatu dalam lautan massa. Mereka datang dengan satu suara: pemerintah harus kembali berpihak pada rakyat. Tidak ada lagi ruang bagi pemimpin yang hanya sibuk menumpuk privilese dan melupakan tugas utamanya: melayani.

Pemandangan itu menyentak nurani kita semua. Jalan protokol yang biasanya dipenuhi kendaraan, hari itu dipenuhi poster, spanduk, dan teriakan. Suara mereka keras, tapi bukan sekadar amarah kosong. Itu jeritan panjang yang dipupuk bertahun-tahun oleh rasa ketidakadilan. Harga kebutuhan pokok yang semakin mahal, akses pendidikan yang kian terbatas, lapangan kerja yang tak kunjung jelas, dan jurang kesenjangan yang semakin lebar. Semua itu menumpuk, lalu pecah dalam gelombang protes yang tak terbendung.

Ironisnya, alih-alih mendengar, pemerintah justru memilih jalan represi. Aparat dikerahkan dalam jumlah besar. Gas air mata ditembakkan ke arah kerumunan. Penangkapan dilakukan terhadap para pengunjuk rasa. Lebih menyakitkan lagi, suara rakyat itu dicap sebagai tindakan pengkhianatan terhadap negara. Sejak kapan rakyat yang mengingatkan pemimpinnya dianggap musuh bangsa? Sejak kapan kritik, yang seharusnya menjadi vitamin bagi demokrasi, justru diperlakukan sebagai penyakit berbahaya?

Rakyat tentu tidak buta. Mereka tahu, di balik panggung politik, para pemimpin asyik dengan fasilitas dan tunjangan yang fantastis. Isu mengenai gaji dan berbagai tambahan bagi wakil rakyat menjadi bahan bakar yang menyulut api protes lebih besar. Bagaimana mungkin para pejabat bicara soal penghematan, sementara gaya hidup mereka menunjukkan sebaliknya? Ketika rakyat dipaksa menahan lapar, mengencangkan ikat pinggang, mereka justru hidup di dalam kelimpahan.

Korupsi pun belum sirna. Nyaris di setiap instansi publik, praktik kotor itu terus berulang. Penegakan hukum tampak hanya sebagai formalitas. Pelaku korupsi diproses seadanya, divonis ringan, dan anehnya, banyak yang tetap bisa berkeliaran dengan bebas. Sementara rakyat kecil yang melakukan pelanggaran demi bertahan hidup, justru dihukum dengan keras. Bukankah ini ironi yang menyayat hati?

Di sinilah kritik menemukan maknanya yang paling mendasar. Demonstrasi besar-besaran ini bukan sekadar amarah jalanan. Itu adalah panggilan nurani. Rakyat berteriak karena mereka masih peduli. Mereka masih menaruh harapan bahwa pemimpinnya bisa berubah. Jika rakyat sudah apatis, jika kritik tak lagi ada, itu justru lebih berbahaya. Itu tanda bangsa ini sedang mati pelan-pelan.

Sayangnya, pemimpin kita sering kali gagal memahami hal itu. Kritik dianggap sebagai serangan. Kritik dianggap sebagai upaya menjatuhkan. Padahal, bukankah lebih berbahaya jika rakyat hanya diam, membiarkan para pemimpin terus salah arah tanpa ada yang mengingatkan? Demokrasi bukan hanya tentang pemilu lima tahun sekali. Demokrasi adalah keberanian rakyat untuk bersuara, setiap kali merasa diperlakukan tidak adil.

Demonstrasi yang mengguncang Jakarta dan berbagai kota di Indonesia pada akhir Agustus lalu hingga kini adalah alarm keras. Alarm yang berbunyi lantang, memberi tanda bahwa ada yang salah. Jika alarm itu diabaikan, jangan salahkan rakyat bila kelak mereka kehilangan kesabaran.

Namun, demonstrasi kali ini meninggalkan jejak berbeda yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah Indonesia. Beberapa rumah anggota dewan dijarah massa, sebuah tindakan ekstrem yang mencerminkan amarah rakyat sudah melampaui batas kesabaran. Jika dulu protes masih berupa orasi, spanduk, atau blokade jalan, maka kali ini kemarahan rakyat meledak dalam bentuk yang lebih destruktif. Mengapa demikian? Karena rakyat merasa kritik yang disampaikan bertahun-tahun hanya berakhir menjadi gema di ruang kosong.

Tidak ada perbaikan nyata, tidak ada jawaban yang tulus dari para wakil rakyat. Aksi penjarahan itu, meski tidak dapat dibenarkan secara hukum, menjadi simbol putusnya kepercayaan publik terhadap lembaga legislatif. Rakyat seolah ingin berteriak: bila rumah rakyat tak lagi berpihak pada kami, maka rumah pribadi para wakil itu pun tidak lagi layak dihormati.

Tentu saja, ini tidak bisa ditolerir dan harus menjadi pelajaran. Bagaimanapun juga, menyampaikan kritik tetap ada etikanya. Protes harus menjadi jalan untuk memperbaiki, bukan menghancurkan. Rakyat boleh marah, boleh kecewa, tapi jangan sampai kehilangan arah. Karena pada akhirnya, kekuatan kritik sejati bukan terletak pada amarah yang meledak-ledak, melainkan pada konsistensi menjaga nurani dan akal sehat agar perubahan bisa benar-benar terjadi.

Kritik adalah nafas demokrasi. Ia bukan racun, melainkan obat. Ia bukan tanda benci, melainkan tanda cinta. Cinta pada negeri ini, agar tidak tenggelam oleh keserakahan segelintir orang.

Jika pemerintah memilih tuli, jika kritik tetap dianggap musuh, maka sejarah akan mencatat: mereka jatuh bukan karena rakyat berhenti peduli, melainkan karena mereka menolak mendengar.

Kritik Tanda Peduli, Jangan Menghakimi. Merdeka![]

Lebih baru Lebih lama