Oleh: Siti Hajar
Sejak kuliah di kota, aku jarang pulang kampung.
Bahkan saat itu aku belum memiliki pekerjaan tetap. Entah mengapa, pulang
kampung tak lagi terasa menarik bagiku. Perasaan ini justru semakin menguat
ketika kedua orang tuaku meninggal dunia. Ada sesuatu yang sulit kupetakan
dengan jelas—tentang alasan-alasan di balik jarangnya aku pulang. Namun aku
yakin, aku tidak sendiri. Banyak orang di luar sana mungkin merasakan hal yang
sama.
1. Tekanan Sosial dan Ukuran Keberhasilan
Hal pertama yang sering terasa, meski jarang
diucapkan, adalah tekanan sosial. Di kampung, keberhasilan seseorang sering
diukur dari seberapa “wah” penampilannya saat pulang. Sudah merantau lama, maka
seolah-olah pulang harus membawa cerita gemilang dan penampilan makmur. Orang
akan bertanya-tanya tentang pekerjaan, penghasilan, dan pencapaian, lalu
membandingkan dengan anak si A atau si B.
Padahal kenyataan hidup tak selalu seindah
ekspektasi masyarakat. Tidak semua orang yang merantau langsung mapan. Ada
proses jatuh bangun yang panjang, ada pergulatan batin yang tidak terlihat.
Tekanan sosial semacam ini membuat pulang kampung kadang terasa seperti ujian
tak resmi—apakah kita sudah layak disebut “orang sukses” atau belum?
2. Kenyamanan Hidup di Kota
Alasan kedua lebih sederhana tapi sangat nyata:
kenyamanan hidup di kota. Segala kebutuhan terasa mudah dijangkau. Mau
nongkrong? Banyak pilihan tempat. Mau jajan? Ada beragam rasa dan harga. Akses
kesehatan, transportasi, pendidikan, dan hiburan juga lebih luas.
Kota menawarkan kepraktisan yang membuat kehidupan
terasa cepat dan hidup. Hari-hari terisi dengan ritme yang dinamis. Di sisi
lain, pulang ke kampung berarti kembali pada suasana yang jauh lebih tenang,
kadang terlalu tenang hingga terasa sepi. Ketika seseorang sudah terbiasa
dengan ritme kota, pulang kampung seringkali seperti memasuki dunia yang
melambat—dan tak semua orang nyaman dengan transisi itu.
3. Ikatan Psikologis yang Memudar
Alasan ketiga sering kali lebih dalam dan
personal. Pulang kampung biasanya erat kaitannya dengan kerinduan terhadap
keluarga. Namun ketika kedua orang tua telah tiada, alasan untuk pulang
perlahan memudar. Meski masih ada saudara, ikatan emosional tidak selalu seerat
hubungan dengan ayah dan ibu.
Kampung halaman pun berubah makna: dari rumah yang
hangat dan penuh tawa, menjadi tempat kenangan yang sunyi. Ziarah saat lebaran
menjadi satu-satunya momen “pulang” yang rutin. Di luar itu, keinginan untuk
kembali tak lagi sekuat dulu, karena secara psikologis, kampung bukan lagi
tempat kita “ditunggu.”
4. Perubahan Sosial dan Budaya di Kampung
Alasan terakhir tak kalah penting: perubahan
sosial dan budaya di kampung. Ritme kehidupan di kampung dan kota berbeda. Di
kota, orang-orang cenderung sibuk dengan kehidupan masing-masing dan tidak
terlalu mencampuri urusan pribadi. Sedangkan di kampung, interaksi sosial lebih
intens dan kadang disertai dengan budaya komentar, gosip, atau penilaian.
Bagi sebagian orang, suasana ini bisa terasa
hangat dan guyub. Namun bagi yang telah lama terbiasa hidup mandiri di kota,
hal-hal seperti ini bisa terasa melelahkan. Obrolan ringan bisa berubah jadi
ajang mengorek kehidupan pribadi, dan kadang… jadi sumber tekanan sosial yang
baru.
Pulang kampung, pada akhirnya, bukan sekadar soal
jarak tempuh. Ini tentang jarak ekonomi, kenyamanan hidup, ikatan emosional,
dan perubahan budaya yang pelan-pelan menciptakan sekat. Bukan berarti kita tak
cinta kampung halaman. Hanya saja, ada jarak yang terbentuk tanpa
disadari—jarak antara kenangan masa kecil yang hangat dengan kenyataan hidup
dewasa yang terus berubah.
Dan aku percaya, banyak yang merasakan hal serupa. Pulang kampung bukan lagi sekadar “perjalanan pulang,” tapi juga perjalanan batin yang kadang tak sederhana yang kita bayangkan. Tulisan ini disclaimer ya teman-teman. Mungkin ini hanya pandangan dan penilaianku saja. []