Oleh: Siti Hajar
Tradisi makan sirih memang perlahan mulai memudar
di kehidupan sehari-hari masyarakat, padahal dulu aktivitas ini sangat lekat
dengan kehidupan sosial dan budaya, terutama di Aceh dan banyak daerah
Nusantara lainnya.
Dulu, sirih punya makna yang jauh lebih dalam
daripada sekadar sesuatu untuk dikunyah. Di kampung-kampung, sirih seringkali
menjadi bahasa simbolik yang lembut tapi sangat berarti. Ketika ada hajatan
atau pesta pernikahan, tuan rumah akan mengirim lipatan sirih lengkap dengan
kapur, pinang, dan kadang tembakau kepada keluarga atau tetangga sebagai tanda
undangan. Tak perlu kata-kata panjang—sekali melihat bentuk lipatan sirih itu,
orang langsung tahu bahwa mereka diundang dan dihormati.
Tradisi ini sarat kehangatan dan keakraban. Ada
nuansa personal yang tidak bisa tergantikan oleh selembar undangan cetak,
seindah apa pun desainnya. Saat sirih itu tiba, orang biasanya akan menyambut
dengan senyum, lalu berkata, “Alhamdulillah, kita dapat sirih,”—dan seisi rumah
pun tahu, ada hajatan besar yang akan mereka hadiri bersama.
Sekarang, semuanya memang berubah. Undangan cetak
atau digital jauh lebih praktis, cepat, dan bisa menjangkau banyak orang
sekaligus. Tapi sayangnya, kehangatan simbolik yang dulu melekat dalam sirih
sebagai undangan perlahan memudar. Orang tak lagi menunggu datangnya “sirih
undangan” dengan antusias seperti dulu, melainkan mengecek grup WhatsApp atau
amplop yang datang dari tukang pos.
Perubahan ini wajar, tapi sedikit mengharukan juga
ya. Seakan ada satu babak kehidupan sosial kita yang perlahan menutup,
tergantikan oleh modernitas yang serba efisien tapi kadang terasa dingin.
Dalam masyarakat Aceh, sirih bukan sekadar
tanaman atau bahan kunyahan, melainkan memiliki nilai budaya yang sangat
dalam dan telah mengakar dalam berbagai aspek kehidupan sosial. Berikut
penjelasan lengkapnya:
🌿 1. Simbol Kehormatan dan Penyambutan Tamu.
Dalam adat Aceh,
menyuguhkan sirih kepada tamu adalah tanda penghormatan yang tinggi. Dulu,
ketika tamu datang ke rumah, tuan rumah akan menghidangkan tepak sirih
lengkap—daun sirih, pinang, kapur, dan pelengkap lainnya. Ini bukan sekadar
suguhan, tapi simbol keramahan dan penerimaan. Tamu yang menerima dan
mengunyah sirih berarti ia merasa dihargai dan diterima dengan baik. Momen ini
juga sering menjadi awal percakapan yang akrab.
🌿 2. Lambang Penyatuan dan Persaudaraan. Dalam berbagai upacara adat, terutama pernikahan,
sirih memegang peran penting. Saat linto (pengantin pria) datang ke rumah tueng
dara baro (pengantin perempuan), sirih menjadi salah satu simbol penyatuan dua
keluarga. Prosesi saling bertukar sirih mencerminkan niat baik, keterbukaan,
dan ikatan persaudaraan yang akan terjalin. Karena itulah sirih sering disebut
sebagai “pembuka jalan” untuk hubungan yang harmonis.
🌿 3. Bagian Penting dari Upacara Adat dan
Ritual. Sirih digunakan
dalam berbagai acara adat Aceh: mulai dari upacara pernikahan, khitanan,
kenduri, hingga musyawarah adat. Dalam konteks ini, sirih sering dihadirkan
dalam wadah khusus (tepak atau talam) dengan susunan rapi dan penuh makna.
Setiap komponennya—daun sirih, pinang, kapur—memiliki filosofi tersendiri,
seperti kesucian niat, kejujuran, dan kehangatan persaudaraan.
🌿 4. Media Komunikasi Simbolik. Menariknya, sirih juga berfungsi sebagai alat
komunikasi nonverbal dalam masyarakat Aceh. Misalnya, saat dulu sirih
digunakan sebagai undangan pernikahan, orang tidak perlu banyak bicara.
Lipatan sirih yang dikirim sudah cukup menyampaikan pesan bahwa keluarga
tersebut mengundang dengan penuh hormat. Bentuk lipatan dan isi sirih juga
kadang memberi isyarat tentang jenis acara yang akan digelar.
🌿 5. Identitas Budaya dan Warisan Leluhur. Sirih adalah bagian dari identitas Aceh
yang telah diwariskan lintas generasi. Ia mewakili nilai-nilai kesopanan,
penghargaan, dan kebersamaan yang menjadi ciri khas masyarakat Aceh.
Meskipun zaman berubah, kehadiran sirih dalam adat tetap menjadi penanda
bahwa tradisi dan akar budaya masih hidup, terutama saat acara-acara adat
besar.
Jadi, fungsi sirih dalam budaya Aceh sangat luas:
dari penghormatan, persaudaraan, simbolik, hingga identitas. Ia adalah “bahasa
budaya” yang lembut namun kuat, menyatukan orang-orang dalam nilai-nilai
kebersamaan yang hangat.
Ada beberapa alasan mengapa tradisi ini makin
jarang dilakukan sekarang:
Perubahan gaya hidup modern. Dulu, makan sirih
adalah bagian dari aktivitas harian, seperti saat bersantai, menyambut tamu,
atau sebagai simbol keakraban. Kini, kehidupan masyarakat semakin cepat dan
praktis. Banyak orang tidak lagi sempat atau merasa perlu menyisihkan waktu
untuk “nyirih”, apalagi generasi muda yang lebih akrab dengan camilan modern
dan gadget.
Pandangan kesehatan dan estetika. Makan sirih bisa
membuat gigi menjadi merah atau kehitaman, dan sering dianggap kurang menarik
secara penampilan. Di sisi lain, meningkatnya kesadaran akan kesehatan gigi
juga membuat banyak orang menghindari kebiasaan ini karena takut merusak email
gigi atau dianggap tidak higienis.
Dulu, warna merah pada bibir dan gigi akibat makan
sirih justru dianggap lambang keanggunan dan keindahan alami. Di banyak daerah,
termasuk Aceh, gigi yang memerah karena sirih identik dengan kedewasaan,
keanggunan perempuan, dan kharisma orang tua. Bahkan dalam beberapa tradisi
pernikahan, pengantin perempuan sengaja makan sirih sebelum acara sebagai
simbol kecantikan tradisional dan kematangan diri.
Namun, standar estetika masyarakat berubah seiring
waktu. Pengaruh media massa, budaya global, dan modernisasi membawa gambaran
ideal baru tentang penampilan—gigi putih bersih, senyum rapi, dan bibir
natural. Dalam standar ini, sisa kunyahan sirih di gigi dianggap “mengganggu”,
dan gigi yang kemerahan sering dipersepsikan sebagai tanda tidak menjaga
kebersihan. Akibatnya, banyak orang, terutama generasi muda, merasa makan sirih
membuat penampilan kurang menarik atau “tua”.
Selain soal penampilan, kesadaran tentang kesehatan
gigi dan mulut juga meningkat. Kandungan kapur dalam sirih, jika digunakan
berlebihan, memang bisa mengikis lapisan email gigi. Kunyahan sirih yang
dicampur tembakau juga dikaitkan dengan risiko masalah mulut dan gusi. Maka,
kebiasaan ini mulai dianggap tidak cocok dengan gaya hidup sehat modern yang
mengutamakan kebersihan dan estetika medis gigi—misalnya melalui perawatan gigi
rutin, pemutihan gigi, atau penggunaan behel.
Faktanya, banyak orang tua dulu justru memiliki
gigi yang kuat dan sehat hingga usia lanjut, meskipun mereka tidak pernah
mengenal pasta gigi modern atau sikat gigi elektrik. Salah satu rahasianya
memang terletak pada kebiasaan makan sirih.
Daun sirih, pinang, kapur, dan bahan lain yang
digunakan dalam tradisi nyirih sebenarnya memiliki kandungan alami yang
bermanfaat untuk kesehatan mulut:
Daun sirih memiliki sifat antibakteri alami. Zat
ini membantu menjaga kebersihan rongga mulut, menghambat pertumbuhan bakteri
penyebab bau mulut dan gigi berlubang. Buah pinang mengandung zat astringen
yang bisa memperkuat gusi, serta membantu mengikis plak dan sisa makanan di
gigi saat dikunyah. Sementara Kapur sirih mengandung kalsium, yang dapat
membantu menguatkan gigi. Dalam jumlah seimbang, kapur juga membuat lingkungan
mulut menjadi basa, sehingga bakteri penyebab kerusakan gigi sulit berkembang.
Selain itu, aktivitas mengunyah sirih sendiri
memberi stimulasi alami pada gigi dan gusi, mirip seperti efek flossing ringan.
Sisa-sisa makanan ikut terangkat, dan aliran air liur meningkat. Air liur yang
lebih banyak berfungsi sebagai pembersih alami yang menjaga mulut tetap sehat.
Jadi, wajar saja bila banyak nenek dan kakek kita
dulu memiliki gigi yang kokoh meski tidak pernah ke dokter gigi. Sirih bukan
hanya camilan budaya, tapi juga “obat alami” perawatan mulut tradisional.
Namun, tentu ada catatan penting: kebiasaan nyirih
yang terlalu sering atau menggunakan campuran tertentu (seperti tembakau atau
kapur berlebihan) juga bisa memberi efek negatif jika tidak seimbang. Jadi,
sebenarnya tradisi ini punya dua sisi — sisi alami dan bermanfaat, serta sisi
yang perlu hati-hati.
Akhirnya, kombinasi antara perubahan standar
kecantikan dan kesadaran kesehatan membuat makan sirih pelan-pelan
ditinggalkan. Orang lebih memilih permen penyegar napas atau pasta gigi pemutih
daripada sejumput sirih dan kapur. Padahal, bagi generasi sebelumnya, warna
merah sirih di gigi bukan aib—justru ciri khas identitas budaya yang
mempercantik penampilan dengan cara alami.
Ada nuansa pergeseran makna di sini: sesuatu yang
dulu dianggap indah dan mulia, kini dilihat sebagai kurang menarik atau bahkan
“jorok” oleh sebagian orang. Ini bukan sekadar perubahan selera, tapi juga
perubahan cara pandang terhadap tubuh, budaya, dan simbol keindahan itu
sendiri.
Stigma sosial dan perubahan nilai. Aktivitas makan
sirih kadang dipandang sebagai kebiasaan “orang tua” atau kampungan oleh
sebagian anak muda. Akibatnya, kebiasaan ini tidak diwariskan lagi dalam
lingkungan keluarga secara alami. Tradisi pun perlahan kehilangan penerusnya.
Berkurangnya fungsi sosial sirih dalam kehidupan
sehari-hari. Dahulu, sirih menjadi sarana menjalin hubungan sosial—tanda
keramahan, penghormatan, dan penerimaan. Sekarang, fungsi itu tergantikan oleh
cara-cara lain seperti menyajikan minuman modern, kudapan ringan, atau sekadar
berbincang tanpa ritual tertentu.
Untungnya, seperti yang kamu sebut, dalam adat antar linto dan tueng dara baro, sirih masih tetap dipertahankan. Dalam konteks ini, sirih tidak sekadar makanan, tapi simbol penghormatan, penyatuan keluarga, dan kelestarian budaya. Tradisi inilah yang membuat makan sirih tidak benar-benar hilang, hanya bergeser peran dan konteksnya. []