Di zaman yang serba cepat seperti sekarang,
kesehatan mental menjadi hal yang sering dibicarakan tapi jarang benar-benar
dipahami. Hidup terasa seperti perlombaan tanpa garis akhir—semua orang sibuk
mengejar sesuatu, entah pengakuan, kesuksesan, atau sekadar validasi dari dunia
maya. Di tengah hiruk pikuk itu, banyak dari kita diam-diam kelelahan. Kita
berusaha tetap ramah meski hati sedang remuk, tetap hadir meski jiwa sedang
menepi.
Dari kelelahan itulah muncul satu istilah yang
kini sering dibicarakan: mirroring. Secara sederhana, mirroring
berarti mencerminkan kembali perilaku orang lain terhadap kita. Jika seseorang
memperlakukan kita dengan hangat, kita pun membalas dengan kehangatan. Jika ia
menjaga jarak, kita belajar untuk tidak memaksa dekat. Tujuannya bukan untuk
membalas, tapi untuk melindungi diri—agar kita tidak terus memberi di tempat
yang tidak lagi menerimanya.
Awalnya aku merasa konsep ini terdengar dingin.
Bukankah kita diajarkan untuk tetap berbuat baik meski orang lain tidak begitu?
Tapi semakin kupahami, mirroring bukan tentang meniru dalam arti
membalas perlakuan buruk dengan keburukan. Ia tentang mengenali batas, memahami
arah hubungan, dan memilih sikap yang menenangkan jiwa tanpa melanggar adab.
Kita boleh tidak lagi mengulurkan tangan pada
mereka yang berulang kali menariknya kembali. Kita boleh berhenti menunggu
pesan dari orang yang sudah lama berhenti menyapa. Tapi kita tidak boleh
menanam kebencian di dada, tidak boleh mengubah hati menjadi batu.
Mirroring dalam bingkai syariat bukan berarti memusuhi. Ia
sekadar menyesuaikan langkah, agar tidak terus terseret dalam hubungan yang tak
seimbang. Ia cara lembut untuk berkata, “Aku tetap menghormatimu, tapi izinkan
aku menjaga diriku.”
Kadang, mencintai diri sendiri juga berarti tahu
kapan harus berhenti mendekat. Dan di titik itu, diam kita bukan tanda
dendam—melainkan bentuk paling tenang dari penerimaan.
Namun agar mirroring benar-benar menjaga
kesehatan mental kita, bukan justru menutup hati, ada beberapa hal yang perlu
dijaga:
Pertama, pastikan niatnya lurus. Lakukan mirroring bukan karena ingin
membalas perlakuan orang lain, tapi karena ingin menjaga keseimbangan diri.
Ketika niatnya baik, hasilnya pun menenangkan.
Kedua, tetaplah berprasangka baik. Boleh saja kita
menyesuaikan jarak, tapi jangan terburu-buru menghakimi. Kadang seseorang
menjauh bukan karena benci, melainkan sedang berjuang dengan luka yang tidak
kita tahu.
Ketiga, jangan biarkan mirroring
menghilangkan empati. Karena tugas kita tetap sama: menebar kebaikan, walau
kadarnya menyesuaikan. Kalau kita berhenti tersenyum, bukan karena
marah—melainkan karena sedang memberi ruang bagi hati untuk pulih.
Dan yang terakhir, selalu bawa doa dalam setiap
jarak yang tercipta. Doakan orang-orang yang pernah hadir, bahkan mereka yang
kini menjauh. Sebab mendoakan tanpa kedekatan adalah bentuk paling halus dari
ketulusan.
Pada akhirnya, mirroring bukan tentang menjadi seperti mereka. Tapi tentang menjadi versi diri yang lebih tenang—yang tahu kapan harus diam, kapan harus memberi, dan kapan harus menjaga jarak dengan penuh hormat. Karena menjaga diri, pada dasarnya, juga bagian dari menjaga hati.[]