Oleh: Siti Hajar
Bagiku, minum teh bukan sekadar
kegiatan kecil yang mengisi pagi dan sore hari—ia sudah menjadi ritme tubuhku
sendiri. Ada semacam panggilan halus yang muncul begitu matahari baru naik, dan
kembali ketika senja mulai turun. Aku sering bertanya-tanya, apakah ini bentuk
ketergantungan? Karena setiap kali aku melewatkan satu waktu minum teh dalam
sehari, ada rasa seperti kehilangan sesuatu. Seperti ada ruang kecil dalam
diriku yang mendadak kosong dan ingin segera diisi.
Pernah suatu kali aku bertanya
pada ChatGPT, apakah kebiasaan ini termasuk “addictive”? Ia menjawab, selama
tidak mengganggu kesehatan, tidak membuat jantung berdebar, tidak memicu
gelisah atau insomnia di malam hari, maka ini masih termasuk dalam batas aman.
Jawaban itu melegakan, karena sejauh ini teh justru membuat tubuhku lebih
rileks, dan memberiku semacam jeda mental yang tidak kutemukan pada minuman
lain.
Di Indonesia—dan Aceh
khususnya—teh sudah mengakar lebih dalam daripada sekadar minuman. Ia hadir di
meja-meja warung kopi, berdampingan dengan kopi tubruk yang menjadi ikon Aceh.
Di banyak rumah, terutama rumah-rumah tua yang masih memelihara tradisi kekeluargaan,
teh sering disajikan saat tamu datang. Tidak berlebihan jika kita menyebut teh
sebagai salah satu bentuk keramahan yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Kehangatan teh seperti mewakili kehangatan tuan rumah. Cara sederhana
memuliakan tamu.
Banyak penelitian juga
membuktikan bahwa minum teh memberi manfaat besar bagi tubuh. Kandungan
antioksidannya tinggi, membantu menyegarkan tubuh, menekan radikal bebas,
menjaga metabolisme, dan menenangkan saraf. Tak heran kalau tubuh seperti
mengenali minuman ini sebagai tanda “Ayo istirahat sebentar”, bukan “ayo kerja
lebih keras”.
Tradisi minum teh juga tidak
hanya berkembang di sini. Di Jepang, misalnya, minum teh sore hari sudah
menjadi bagian penting dari rutinitas ibu-ibu dan para lansia. Mereka berkumpul
dalam kelompok kecil, sering kali tanpa rencana besar. Hanya duduk, minum teh,
dan berbagi cerita. Ada ritual ketenangan yang pelan-pelan mengikat hubungan di
antara mereka. Dan yang menarik, Jepang tidak pernah melihat teh sebagai
sekadar minuman—ia adalah jembatan bagi keheningan, keramahan, dan hubungan
yang terpelihara.
Jika kita melihat sedikit lebih
jauh, hampir setiap negara punya cerita sendiri tentang teh. Rasanya luar biasa
menyadari bahwa sesuatu yang tampak sederhana—daun kering yang direndam air
panas—bisa melahirkan kebiasaan sosial yang begitu dalam maknanya. Setiap
budaya menyisipkan filosofi, cara pandang, bahkan identitas tertentu ke dalam
cara mereka menyeduh, menyajikan, dan menikmati teh.
Di Cina, teh menjadi lambang
keseimbangan dan hubungan manusia dengan alam. Di Inggris, teh adalah waktu
untuk memperlambat langkah dan memperhatikan orang yang duduk di hadapan kita.
Di India, teh atau “chai” adalah bahasa kehangatan; kalau seseorang menawarkan
segelas chai, itu artinya ia ingin menjadi temanmu, bukan sekadar melayani
kebutuhanmu. Di Turki, menolak secangkir teh kadang dianggap menolak
pertemanan. Di Maroko, teh mint adalah simbol kehormatan; tuan rumah
menyajikannya sebagai bentuk penghargaan tertinggi. Rusia punya samovar
yang menjadi jantung rumah. Tibet punya teh mentega yang menghangatkan tubuh
dan jiwa di daerah pegunungan. Iran punya rumah teh sebagai ruang kontemplasi.
Dan Indonesia, dengan segala keragamannya, menjadikan teh sebagai tanda bahwa
tamu adalah seseorang yang penting, yang kamu harus menghargainya.
Melihat semua ini, aku makin
sadar bahwa teh bukan sekadar minuman global—ia adalah sesuatu yang berbentuk
kasih sayang. Setiap budaya yang menjadikannya tradisi sejatinya sedang
mengajarkan hal yang sama, bahwa kita butuh jeda, kita butuh ditemani, kita
butuh momen kecil yang membuat hidup terasa lebih ringan dan berarti.
Mungkin inilah alasan mengapa aku
merasa kehilangan bila melewatkan satu waktu minum teh. Bukan karena tubuhku
“ketagihan”, tetapi karena teh sudah menjadi cara kecil untuk menghadirkan
diriku sendiri. Ia adalah ruang hening yang kumiliki di antara banyaknya peran.
Ia adalah caraku menyapa tubuhku, sebelum aku kembali menyapa dunia.
Dan dari kebiasaan-kebiasaan
kecil inilah, aku mulai penasaran: bagaimana sebenarnya manusia dari berbagai
negara merawat tradisi minum teh mereka? Apa yang mereka temukan dalam
secangkir kecil yang mengepul hangat itu? Apa filosofi yang tumbuh dari meja-meja
teh di berbagai belahan dunia?
Berikut, aku mencoba merangkum
gambaran tentang tradisi minum teh di 10 negara, beserta makna yang mereka
tanam di dalamnya. Semoga setelah ini, setiap kali kita meneguk teh, kita bisa
merasakan bahwa kita sedang terhubung dengan begitu banyak manusia
lainnya—yang, seperti kita, hanya ingin berhenti sebentar dan merasa hidupnya
lebih utuh.
1. Jepang — Chanoyu / Sado
Filosofi utama: kesederhanaan,
keheningan, dan harmoni. Dalam upacara teh Jepang, setiap gerakan dibuat dengan
penuh kesadaran (mindfulness). Teh bukan hanya untuk diminum, tetapi menjadi
jalan untuk menyelaraskan diri dengan alam dan orang lain. Ruang teh (chashitsu)
sendiri melambangkan kerendahan hati—di mana semua orang setara begitu mereka
masuk.
2. China — Akar Tradisi Teh Dunia
China memiliki tradisi minum teh
tertua. Filosofinya menekankan keseimbangan tubuh, rasa syukur atas alam, serta
hubungan antara manusia dan energi kehidupan (qi). Upacara teh Gongfu
Cha mengajarkan bahwa kualitas hidup terletak pada detail dan kesabaran.
3. Inggris — Afternoon Tea
Tradisi ini bukan ritual
spiritual, melainkan simbol keanggunan, tata krama, dan kualitas waktu bersama.
Minum teh menjadi cara masyarakat Inggris memperlambat ritme hidup, melepaskan
stress, dan menunjukkan hospitality (keramahtamahan).
4. India — Chai Culture
Di India, teh adalah identitas
bangsa. Filosofinya: kehangatan, keramahtamahan, dan inklusivitas. “Chai”
disajikan kepada tamu sebagai tanda persahabatan. Warung teh (chai wallah)
menjadi ruang sosial di mana orang-orang dari berbagai kelas bertemu sebagai
sesama manusia.
5. Turki — Çay Traditions
Minum teh di Turki menandakan persahabatan
dan keterbukaan hati. Teh disajikan dalam gelas kecil berbentuk tulip. Orang
Turki percaya bahwa minum teh bersama membuat percakapan lebih jujur dan
hubungan lebih tulus. Menolak teh bisa dianggap menolak keintiman sosial.
6. Maroko — Mint Tea
“Whiskey of Morocco.” Filosofinya
tentang kehangatan, kemurahan hati, dan kehormatan keluarga. Teh mint disajikan
sebagai tanda kehormatan pada tamu. Cara menuang teh dari ketinggian
melambangkan keindahan dan seni dalam keramahan.
7. Rusia — Samovar Tradition
Teh Rusia identik dengan samovar
(ketel tradisional). Filosofinya: kehangatan rumah, kekompakan, dan kekuatan
menghadapi musim dingin. Teh menjadi pusat percakapan keluarga. Minum teh
bersama dianggap mempererat ikatan emosional.
8. Tibet — Butter Tea (Po Cha)
Dibuat dari teh hitam, susu yak,
dan mentega. Filosofinya: ketahanan, spiritualitas, dan ketundukan pada alam.
Teh ini memberi energi di cuaca ekstrem dan sering diminum dalam kegiatan
ritual Buddhist. Minum po cha adalah bentuk menghargai tubuh sebagai
“wadah spiritual”.
9. Iran — Chai Khaneh
Rumah teh di Iran bukan sekadar
tempat minum, tapi ruang budaya. Filosofinya menekankan kontemplasi,
persaudaraan, dan perenungan. Di sinilah orang membaca puisi, berdiskusi, dan
mengekspresikan seni. Teh Iran adalah sarana memperdalam batin dan hubungan
sosial.
10. Indonesia — Ragam Tradisi
Nusantara
Dari teh tubruk Jawa hingga teh
tarek Aceh, filosofi teh di Indonesia selalu terkait:
- kehangatan keluarga,
- keramahtamahan,
- kesederhanaan yang membahagiakan.
Dalam masyarakat Jawa, teh
menjadi simbol tepa selira (saling memahami). Di Aceh, teh sering disajikan
sebagai tanda penerimaan dan penghargaan terhadap tamu.
Demikian teman-teman semoga ini
menambah insight kalain dalam melihat budaya dari negara-negara di dunia. []
