Cerita Rakyat: Ulee Jeut Keu Raja, Iku Jeut Keu Teungku

 Oleh: Siti Hajar

Pagi itu, aroma tumis tongkol Aceh yang pedas-asam memenuhi rumah kayu Ibu Meutuah dan Pak Bahagia di sebuah gampong kecil. Asap tipis dari dapur mengalun keluar jendela, menyeruakkan bau minyak panas, serai, dan asam sunti yang memancing selera.

Empat anak mereka sudah duduk mengelilingi meja makan. Seperti biasa, suasana pagi jarang benar-benar tenang. Bahkan sebelum nasi dituang, mereka sudah saling melirik bagian ikan mana yang ingin dimakan—sebuah kebiasaan yang sejak dulu selalu jadi bahan canda sekaligus keributan kecil di rumah itu.

Canden, sulung yang lembut, duduk paling sopan. Di sebelahnya Nyak Sandang, anak kedua yang tegas. Lalu Nyak Dhien, gadis penuh api semangat, yang kakinya tak bisa diam bergoyang. Di ujung meja ada Geunta, bungsu lelaki, sudah bersiap melancarkan protes.

Begitu piring berisi ikan tongkol diletakkan di tengah, suara Geunta langsung meledak.

“Mak! Aku enggak mau kepala! Aku mau badan!”

Belum sempat Meutuah menjawab, Nyak Sandang ikut berseru, “Mak! Aku enggak mau ekor. Banyak tulangnya!”

Meutuah menarik napas panjang. Keributan seperti ini sebenarnya membuat hidupnya berwarna, tapi kalau tiap pagi begini, siapa pun bisa pusing.

“Ssttt…bek karu (jangan ribut),” katanya pelan, tapi tegas. “Dari dulu nenek bilang, soe yang pajoh ulee jeut keu raja (orang yang makan kepala akan jadi raja). Dan yang pajoh iku jeut keu teungku (dan yang makan ekor jadi tengku atau ulama).”

Semua langsung diam. Sunyi seperti habis kena angin beku.

Dalam hening itu, Geunta perlahan menarik kepala ikan ke piringnya, sementara Nyak Sandang cepat-cepat memegang ekor ikan yang tadinya ia tolak mentah-mentah. Mereka makan dengan lahap, seolah masa depan mereka telah ditentukan dari sepotong ikan.

Canden dan Nyak Dhien saling berpandangan. Ada sedikit rasa iri, tapi juga rasa ingin. Walau perempuan, hati kecil mereka menyimpan mimpi besar—mungkin suatu hari mereka juga bisa jadi pemimpin, atau pembawa ilmu bagi banyak orang.

Kata-kata Ibu Meutuah kembali terngiang dalam kepala mereka: “Sementara yang dapat bagian badan ikan, bisa jadi toke, saudagar, atau tentara.”

***

Sejak kecil, Nyak Dhien sering mendengar cerita tentang Sri Ratu Safiatuddin yang memimpin Aceh dengan bijaksana, dan tentang Laksamana Keumalahayati, panglima perang perempuan pertama di dunia. Cerita itu yang membuatnya percaya bahwa perempuan pun bisa memegang pedang, menata negeri, dan berdiri gagah di geladak kapal.

Mungkin sebab itu, hari itu ia memberanikan diri.

Beberapa hari kemudian, tumis tongkol kembali tersaji. Ikan diletakkan, bau pedasnya menari di udara. Dan sebelum suara lain terdengar, Nyak Dhien mengangkat tangan tinggi-tinggi.

“Mak! Aku mau kepala!” katanya lantang. Walau perempuan, ia ingin menjadi “raja”—atau paling tidak pemimpin seperti tokoh-tokoh Aceh yang ia kagumi.

Canden pun ikut berkata, lembut tapi jelas, “Mak, aku mau ekor. Aku mau jadi Tengku. Ingin ajarkan anak-anak mengaji. Kalau bisa bantu orang masuk surga, kan baik, Mak…”

Meutuah terkejut, tapi juga bangga melihat dua anak perempuan itu mulai memiliki keberanian menjemput masa depan mereka sendiri.

Namun mendadak Canden memandang piringnya, lalu berkata lirih,  “Mak… tapi aku enggak sanggup jadi tentara. Senjata berat sekali. Mana sanggup aku membawanya…”

Belum sempat Meutuah merespons, Nyak Sandang menggeser ekor ikan ke piring Canden.

“Kalau begitu ini ekor untuk Canden saja. Biar dia jadi Tengku. Aku yang jadi tentara. Aku laki-laki kuat dan tangguh!”

Ia bahkan memamerkan otot lengannya—yang jujur saja, belum terlalu terlihat, tapi cukup membuat semuanya tertawa kecil.

Geunta tersenyum, Nyak Dhien mengangguk bangga. Meutuah memandang mereka dengan mata berbinar, merasakan sesuatu tumbuh di dalam dadanya, ’Anak-anak ini sedang belajar menjadi manusia.”

Hari itu Geunta makan badan ikan—siap jadi raja, saudagar, atau apa pun yang Allah takdirkan. Nyak Dhien makan kepala ikan dengan mimpi ingin jadi pemimpin, meski mungkin hanya menjadi ibu Keuchik kelak. Canden memakan ekor ikan dengan keyakinan bahwa menjadi Tengku lebih mulia dari apa pun. Dan Nyak Sandang memakan bagian badan lainnya dengan bangga karena telah memilih dengan bijaksana.

Ketika mereka mulai makan tanpa ribut, Meutuah berkata dengan suara yang mengalir lembut, “Anak-anakku… bagian ikan mana pun yang kalian makan, semuanya baik untuk tubuh kalian. Kepala, ekor, atau badan—bukan itu penentu hidup. Allah yang menentukan takdir. Kalian hanya perlu makan dengan syukur, berbuat baik, dan terus belajar menjadi manusia yang berguna.”

Anak-anak itu menunduk, tersenyum, lalu melanjutkan makan. Tak ada lagi rebutan. Hanya bunyi sendok, aroma tumis tongkol pedas-asam, dan mimpi-mimpi kecil yang tumbuh seperti bunga yang aru tahu cara mekar.

Ibu Meutuah  dan Pak Bahagia saling melempar senyum. Anak-anak mereka sekarang smakin bertumbuh. Di rumah yang sederhana itu, mereka merasa kehidupannya sangat kaya—kaya oleh cinta, kecerdasan, dan kebijaksanaan anak-anaknya yang terus berkembang dari hal-hal yang sederhana.Berharap anaknya tumbuh dengan harapan dan cita-citanya masing-masing bukan karena keinginan orang tua yang memberatkan mereka.[]

 


Lebih baru Lebih lama