Ini untuk Kamu yang Mengalami Luka Batin

 


Oleh: Siti Hajar

Kadang aku merasa banyak orang sekarang hidup sambil bawa beban yang entah kapan mulainya. Ada yang sejak kecil, ada yang baru muncul setelah hidup mulai berjalan ke arah yang… ya, bukan yang diharapkan. Ada yang tumbuh dengan orang tua yang ribut terus, ada yang tiap hari dengar kata-kata menyakitkan dari orang rumah, ada yang ketemu teman atau pasangan yang cuma bisa menguras tenaga, bukan kasih kenyamanan. Dan entah kenapa, semua itu numpuk saja dalam diri, sampai suatu hari kita sadar… kok hidup berat banget ya, padahal tidak ada kejadian besar apa-apa hari itu.

Luka batin itu bukan hal besar yang langsung terlihat. Kadang ia muncul dari hal kecil, dari kalimat yang dulu kita dengar terus sampai kita percaya bahwa kita memang tidak cukup baik. Kadang dari cara orang memperlakukan kita waktu kecil—yang waktu itu kita tidak punya daya buat melawan. Dan ketika dewasa, semuanya muncul lagi dalam bentuk-bentuk aneh yang kita sendiri bingung: kenapa aku tiba-tiba sedih? kenapa marahnya keras? kenapa merasa kosong padahal baru saja ketawa? Seringnya begitu.

Sekarang mungkin makin banyak yang mengalaminya karena hidup makin cepat… kayak semuanya berlomba-lomba. Media sosial bikin kita lihat hidup orang lain yang tampak mulus, padahal kita sendiri sedang berantakan. Kita jadi merasa tertinggal, tidak cukup, tidak diperhitungkan. Padahal semua itu cuma potongan kecil, tapi entah kenapa hati kita percaya itu sebagai “kenyataan”. Lalu tambah lagi tuntutan dari rumah, dari sekolah, dari kerja. Rasanya kayak tidak ada tempat buat berhenti barang sebentar tanpa merasa disalahkan.

Dan lama-lama luka itu mulai kelihatan, meski kita coba sembunyikan. Ada hari-hari di mana tiba-tiba tubuh terasa kosong, kayak ada ruangan luas yang dingin di dalam dada. Ada momen kamu overthinking sampai kepalamu terasa penuh. Ada rasa takut bikin orang kecewa, jadi kamu ambil semua beban walaupun tubuhmu sebenarnya sudah minta berhenti. Ada rasa ingin dekat dengan seseorang, tapi sekaligus takut kalau nanti ditinggalkan. Ada juga yang memilih diam, tidak merasa apa-apa, karena mungkin itu cara paling aman untuk bertahan.

Kamu mungkin tidak sadar, tapi kadang kamu sebenarnya sedang kelelahan secara batin. Bukan karena kamu lemah, tapi karena kamu terlalu lama bertahan sendirian. Tidak ada yang benar-benar tahu seberapa keras perjuanganmu. Di luar kamu terlihat kuat, padahal kalau saja ada yang tanya “kamu sebenarnya kenapa?”, mungkin kamu bisa menangis tanpa perlu alasan jelas.

Pelan-pelan saja. Tidak harus langsung sembuh. Kamu bisa mulai dari hal-hal kecil yang membuatmu merasa sedikit lebih hidup. Menulis apa pun yang kamu rasakan, meski cuma satu dua kalimat berantakan. Mengurangi kontak dengan orang yang bikin hatimu makin runyam. Mengizinkan diri tidur lebih lama, atau sekadar duduk tanpa mikir apa-apa. Memilih diam hari ini karena kepalamu terlalu penuh juga tidak apa-apa. Tidak harus produktif setiap detik. Tidak harus kuat setiap saat.

Tapi kalau suatu hari kamu merasa napas makin berat, tidur kacau, pikiran makin gelap, atau kamu mulai berpikir hal-hal yang tidak seharusnya… itu saatnya cari bantuan. Tidak ada yang salah dengan itu. Kadang kita butuh seseorang yang paham bagaimana pikiran bekerja, supaya kita tidak tersesat di dalam kepala sendiri.

Dan kalau kamu punya seseorang yang sedang bawa luka seperti ini, kamu tidak harus memperbaikinya. Terkadang cukup duduk di sampingnya tanpa banyak omong. Kadang cukup bilang “aku ada di sini, kalau kamu mau cerita kapan-kapan.” Jangan paksa dia kuat, jangan buru-buru menilai. Luka batin itu sensitif. Salah satu hal paling indah yang bisa kamu lakukan adalah memberi ruang aman untuk orang itu bernapas.

Satu hal yang pasti semua membawa sesuatu dalam diri. Ada yang berat, ada yang samar, ada yang belum diakui. Luka batin memang tidak bisa disembunyikan selamanya. Tapi bukan berarti kita tidak bisa berdamai dengan itu. Seiring waktu, selama kita berani melihatnya walaupun pelan-pelan, ada bagian dari diri yang akhirnya mulai tenang. Hidup mungkin tidak langsung berubah, tapi setidaknya kita mulai memahami dari mana perih itu datang. Dan dari situ, langkah kecil menuju pulih mulai terlihat. []

Lebih baru Lebih lama