Tradisi Idul Fitri dalam Budaya Melayu: Perpaduan Religi dan Kekayaan Adat



 

Oleh: Siti Hajar

Idul Fitri bukan sekadar perayaan keagamaan, tetapi juga menjadi cerminan budaya yang khas di setiap masyarakat Muslim. Di dunia Melayu—meliputi Indonesia, Malaysia, Brunei, dan Singapura—perayaan ini tidak hanya diisi dengan ibadah, tetapi juga diperkaya dengan tradisi turun-temurun yang membentuk identitas komunitas. Berbeda dengan perayaan Idul Fitri di Timur Tengah yang lebih sederhana dan berpusat pada keluarga inti, masyarakat Melayu menjadikannya momentum untuk memperkuat hubungan sosial dengan silaturahmi yang luas, hidangan khas, dan berbagai kegiatan budaya.

Kemegahan Malam Takbiran dan Tradisi Mudik

Malam sebelum Idul Fitri menjadi momen yang penuh kemeriahan di dunia Melayu. Takbir berkumandang bukan hanya di masjid, tetapi juga mengalun di jalan-jalan dalam bentuk takbir keliling. Dengan iringan beduk, obor, dan kendaraan berhias, masyarakat berkeliling desa atau kota, melantunkan takbir dengan penuh semangat. Ini menjadi pemandangan yang jarang ditemukan di Timur Tengah, di mana takbir lebih banyak dilakukan di dalam masjid tanpa adanya pawai perayaan.

Tradisi mudik atau pulang kampung juga menjadi ciri khas utama di dunia Melayu. Jutaan orang berbondong-bondong kembali ke kampung halaman untuk merayakan Idul Fitri bersama keluarga besar. Ini menjadi waktu yang sakral bagi mereka yang merantau, untuk kembali ke akar dan merayakan kemenangan setelah sebulan berpuasa. Di Timur Tengah, konsep mudik dalam skala besar seperti ini hampir tidak ditemukan, karena perayaan biasanya tetap berlangsung di tempat tinggal masing-masing tanpa perlu melakukan perjalanan jauh.

Silaturahmi dan Rumah Terbuka

Jika di Timur Tengah perayaan Idul Fitri lebih berpusat pada keluarga inti dan sahabat dekat, masyarakat Melayu memiliki tradisi berkeliling dari rumah ke rumah untuk bersilaturahmi dengan keluarga besar, tetangga, dan teman-teman. Di beberapa daerah, ada tradisi marhaban, di mana sekelompok orang, terutama anak-anak muda, berkeliling satu kampung sambil melantunkan shalawat dan doa sebelum mengunjungi rumah-rumah tetangga.

Salah satu aspek yang membuat Idul Fitri di dunia Melayu begitu unik adalah tradisi Rumah Terbuka (Open House). Dalam tradisi ini, rumah dibuka lebar bagi siapa saja yang ingin datang, baik keluarga, tetangga, maupun teman. Tidak perlu undangan khusus, siapa pun dipersilakan menikmati hidangan khas yang telah disediakan. Ini menjadi simbol keramahan dan kebersamaan yang kuat dalam budaya Melayu. Sebaliknya, di negara-negara Arab, perayaan cenderung lebih eksklusif dan privat, dengan jamuan yang lebih terbatas pada keluarga dan sahabat dekat.

Bermaaf-Maafan dan Tradisi Duit Raya

Lebaran di dunia Melayu tidak hanya menjadi waktu berkumpul, tetapi juga ajang bermaaf-maafan secara resmi. Setelah shalat Id, keluarga besar biasanya mengadakan sesi khusus untuk meminta maaf satu sama lain, di mana yang lebih muda bersalaman dan mencium tangan orang yang lebih tua sebagai tanda hormat. Tradisi ini sangat dijunjung tinggi di Indonesia, Malaysia, dan Brunei, sementara di Arab, meskipun saling memaafkan juga menjadi bagian dari Idul Fitri, prosesi khusus seperti ini tidak terlalu umum.

Selain itu, anak-anak selalu menantikan momen duit raya, di mana mereka menerima uang dalam amplop warna-warni dari orang dewasa. Ini mirip dengan Eidiya di budaya Arab, tetapi dalam masyarakat Melayu, pemberian ini lebih terstruktur dan menjadi bagian tak terpisahkan dari perayaan.

Hidangan Khas

Salah satu daya tarik utama Idul Fitri di dunia Melayu adalah hidangan khasnya yang kaya rasa dan penuh makna. Ketupat, lemang, rendang, opor ayam, dan lontong sayur menjadi menu wajib di meja makan. Makanan-makanan ini bukan sekadar santapan, tetapi juga memiliki filosofi tersendiri. Ketupat, misalnya, dengan anyaman kulitnya yang rumit, melambangkan kompleksitas kehidupan manusia, sementara isinya yang putih melambangkan hati yang bersih setelah Ramadan.

Tidak hanya makanan berat, berbagai jenis kue kering juga menjadi ciri khas Idul Fitri di dunia Melayu. Beberapa yang paling populer meliputi:

  • Nastar – kue lembut berisi selai nanas yang manis-asam.
  • Kastengel – kue keju dengan rasa gurih dan tekstur renyah.
  • Putri Salju – kue bersalut gula halus yang memberikan sensasi dingin di lidah.
  • Kue Bangkit – kue sagu khas yang langsung meleleh di mulut.
  • Kuih Tart Nanas – versi tart nanas khas Malaysia yang sering berbentuk gulungan atau bunga.
  • Kue Makmur – mirip dengan maamoul di Arab, tetapi menggunakan kacang tanah atau kacang hijau sebagai isian.

Sementara itu, di Timur Tengah, hidangan Idul Fitri lebih sederhana dan tidak terlalu beragam. Biasanya, mereka menyajikan maamoul (kue isi kurma atau kacang), lamb mandi (nasi berbumbu dengan daging kambing), dan kopi atau teh Arab sebagai hidangan utama.

Perayaan Idul Fitri di dunia Melayu adalah perpaduan antara spiritualitas dan budaya. Kemegahan malam takbiran, tradisi mudik, silaturahmi yang luas, rumah terbuka, hidangan khas, dan berbagai kue kering menjadikan perayaan ini lebih dari sekadar ritual keagamaan—ia menjadi momen kebersamaan yang mempererat hubungan sosial dan memperkaya budaya.

Dibandingkan dengan perayaan di Timur Tengah yang lebih sederhana dan berfokus pada keluarga inti, Idul Fitri dalam budaya Melayu lebih meriah dan penuh warna, dengan unsur adat yang kuat. Masyarakat Melayu menjadikan Idul Fitri sebagai ajang untuk saling berkunjung, berbagi makanan, memberi hadiah, dan memperkuat tali persaudaraan dalam skala yang lebih luas. Dengan semua keunikan ini, Idul Fitri dalam tradisi Melayu bukan hanya menjadi perayaan, tetapi juga warisan budaya yang terus hidup dari generasi ke generasi. [] 


Lebih baru Lebih lama